Mantan Menteri Agama RI, DR. H. Surya Dharma Ali Tersangka Korupsi Haji
Namun selaku Menteri Agama RI, ia merasa 'panas' dan tidak kuasa menahan reaksi mengenai tudingan adanya penyelewengan Rp 230 miliar di kementerikan yang dipimpinnya.
Kala itu, SDA sapaan Suryadharma Ali, segera membantah.
Ia mengimbau agar Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjelaskan kepada publik tentang lansiran data adanya transaksi mencurigakan Rp 230 miliar sehubungan pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji dari tahun 2004-2012.
Tak hanya itu, dia bahkan menantang PPATK dan KPK untuk memeriksa Kementerian Agama yang dipimpinnya.
"Kepada PPTAK saya imbau, segera menjelaskan kalau memang ada trasaksi-transaksi yang mencurigkan, kita kan sering dengar statment transaksi mencurigkan terkait penyelenggaran ibadah haji," kata Suryadharma Ali usai membuka Mukernas II PPP.
Penjelasan secara rinci dari PPATK terkait adanya transaksi mencurigakan dalam pengelolaan dana penyelenggaran ibadah haji tersebut, kata Menag, hal yang penting untuk dilakukan agar tidak menimbulkan teka-teki yang tidak jelas di tengah-tengah masyarakat.
"Saya baca di running text salah satu televisi, ada statement PPATK bahwa dari tahun 2004-2012 ada dana sebesar Rp 230 miliar (transaksi mencurigkan). Saya kira dibuka saja. Supaya tidak terdegradasi kepercayaan masyarakat kepada negara, khususnya kepada Kementerian Agama sebagai pihak yang menyelenggaran ibadah haji," kata SDA.
"Kalau memang ada penyimpangan hukum, saya persilahkan kepada KPK untuk segera mengusutnya. Begitupun dengan PPATK, tolong jelaskan kalau memang ada transaksi mencurigkan," ujar Suryadharma, Ketua Umum PPP yang sejak lama getol berkoalisi dengan Partai Gerindra mengusung calon presiden Prabowo Subianto.
Tantangan itu menjadi petaka buat diri sendiri. Menepuk dulang, kena muka sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013.
Kasus ini bermula dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan transaksi mencurigakan hingga Rp 230 miliar dari pengelolaan dana haji tahun 2004 hingga 2012.
Dalam kurun waktu tersebut, dana haji yang dikelola Kemenag mencapai Rp 80 triliun. Dana sebagian diinvestasikan ke produk perbankan maupun produk pasar modal, dengan imbalan hasil sekitar Rp 2,3 triliun per tahun.
"Ada dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana itu," ujar Wakil Ketua PPATK Agus Santoso, Kamis, 6 Februari 2014.
"Modusnya dana dari BPIH berpindah ke rekening pribadi pegawai Kemenag. Ada juga setelah dipindahkan ke rekening pribadi, dipindahkan lagi ke rekening temannya sesama pegawai Kemenag," kata Agus.
Dia menyatakan, dana yang dipindahkan bervariasi, misalnya ada dana berpindah Rp 2,5 miliar. Ada pula uang BPIH yang digunakan untuk membeli mobil operasional pada 2011 dan 2012.
PPATK juga telah memeriksa 27 bank penerima setoran dan menghitung dana setoran awal tekait dengan BPIH untuk periode 2004-2011 senilai Rp 80 triliun. Nilai itu merupakan hitungan kasar tanpa menambahkan nilai manfaat dan mengurangi pengeluaran penyelenggaran haji.
Menurut dia, ada penggunaan yang tak sesuai dengan tujuan awal pengelolaan dana haji. Meski tak mau memerinci transaksi mencurigakan apa yang ditemukan lembaganya, Agus mengatakan PPATK telah menyerahkan beberapa laporan hasil analisis tentang dana haji pada KPK.
Temuan-temuan itu disampaikan pada KPK tahun lalu.
Indonesian Corruption Watch (ICW) membeberkaan modus dugaan korupsi dana penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama.
Diduga ada permainan nilai tukar atau kurs mata uang dalam penyelenggaran haji. Permainan ini sudah tercium sebagai aroma yang tidak sedap dalam penyelenggaraan haji sejak 2012 lalu.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas menyebutkan permainan kurs nilai mata uang terjadi pada dua sisi. Yakni, ketika ongkos Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) ditetapkan dan pelunasannya.
Terdapat tiga mata uang yang dipakai dalam ongkos naik haji, yaitu, rupiah, dollar Amerika Serikat (AS) dan real. Dalam aturan BPIH, pelunasan dihitung berdasarkan kurs rata-rata nilai dolar AS pada waktu pelunasan.
"Temuan kami, terutama untuk 2012, kami menemukan bahwa Kementerian Agama menggunakan nilai kurs rupiah yang lebih rendah dari realisasinya. Sehingga ketika dikonversi menjadi dollar, jamaah itu membayar dengan kurs dolar yang lebih tinggi," ungkap Firdaus, dalam konferensi pers terkait penetapan Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji 2012-2013, di Kantor ICW, Jakarta, Jumat (23/5).
Berdasarkan catatan ICW mengenai permainan kurs pada 2012, jamaah menderita rugi sekitar Rp 55 miliar akibat ketidak-wajaran kurs tersebut. "Itu satu permainan kurs untuk pelunasan BPIH," ucapnya.
Temuan kedua, adanya permainan kurs juga terjadi ketika perumusan komponen biaya langsung (direct cost) yang harus ditanggung jamaah dalam BPIH.
"Satu catatan penting, bisa dilihat dari otoritas perbankan Arab Saudi menetapkan satu dollar AS itu sama dengan 3,745 real. Tetapi sayangnya, ketika merumuskan perhitungan beban, Kementerian Agama menggunakan nilai kurs 3,72. Jadi satu dollar itu dihitung 3,72 real," kata Firdaus.
Ketika dikonversi ke dalam dollar, nilai dollar yang ditanggung jamaah akan semakin besar
Firdaus Ilyas menyebutkan potensi uang untuk ibadah haji jumlahnya begitu besar. Hingga kini tercatat daftar tunggu calon jamaah haji reguler sudah hampir mencapai 2,5 juta.
Sedangkan waiting list (daftar tunggu) untuk calon haji khusus (ONH Plus) itu sudah hampir mencapai 200 ribu jamaah.
"Kalau melihat dari waiting list ini mengimplikasikan sebelum masuk dalam waiting list, harus membayarkan setoran awal. Kalau kita lihat dari setoran awal itu hampir Rp 70 triliun. Per Desember 2013, sebesar Rp 68 triliun. Itu hanya setoran pokoknya. Kita tidak tahu berapa nilai bunganya. Baik itu di Giro ataupun deposito," kata Firdaus.
Lebih jauh dia jelaskan, dari tahun ke tahun, ongkos Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) terus meningkat signifikan. Tapi, besarnya ongkos BPIH ini tetap saja menyisahkan persoalan klasik. Mulai dari pelayanan yang buruk, transportasi, katering, pemondokan dan lainnya.
Persoalan BPIH sendiri menjadi celah memungkinkan terjadinya praktik penyimpangan.
Bahkan memungkinkan terjadinya praktik korupsi dalam pengelolaan ibadah haji.
Celah itu terletak pada penentuan ongkos BPIH itu sendiri. Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2008 tentang Haji yang menyatakan Kementerian Agama memiliki kewenangan baik sebagai regulator dan operator seperti selama ini.
"Kesimpulannya, di dalam sebuah kelembangaan yang tidak hanya mengurusi persoalan publik, dia juga mengurusi penyelenggaraan ibadah haji. Dan semua kewenangan itu berada pada satu lembaga yang sama. Itu yang membuat jadi satu titik lemah besar tata kelola ibadah haji," jelasnya.
Mau tahu soal sengkarut penyelenggaraan haji, Yuk, Ikuti Live Chat dengan Koordinator Badan Pekerja ICW, Ade Irawan pada Rabu (28/5/2014), pukul 15.00. Caranya mudah, silakan klik livechat.tribunnews.com. (tribunnews/mal/edf/amb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar