Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo saat mengunjungi lokasi pembangunan Waduk di Marunda, Selasa (11/2/2014) - Foto: Fabian Januarius Kuwado/Kompas.com
Namun, beberapa persoalan yang membelit Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu terakhir memunculkan tanda tanya besar. Bagaimana bisa bus baru berkarat? Mengapa bisa proyek monorel yang tanpa izin dimulai? Mengapa bisa Jokowi yang semula menolak enam ruas jalan tol kini mendukung? Mengapa bisa pedagang kaki lima Blok G turun ke jalan?
"Sebenarnya, ada apa dengan Jokowi?" ujar pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia, Agus Pambagyo, kepada Kompas.com, Kamis (20/2/2014).
Dari bus karat sampai Blok G
Soal bus baru transjakarta dan bus kota terintegrasi bus transjakarta (BKTB) yang karatan dan rusak, Agus menyayangkan terjadinya hal itu. Agus menilai, meski bukan urusan Gubernur, seharusnya Jokowi atau wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, mengecek dokumen pengadaan bus secara detail, bukan hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Dinas Perhubungan Jakarta.
"Kan penambahan transportasi massal itu program andalannya Pak Jokowi. Kalau mereka mau aman sih harusnya dicek, sesuai prosedur atau enggak. Bagi tugaslah, Jokowi ke lapangan, Basuki yang memeriksa dokumen-dokumen di kantornya," kata Agus.
Praktik mafia di Pemprov DKI Jakarta, kata Agus, masih terjadi pada pengadaan barang. Spesifikasi tidak berkualitas, yang penting harganya murah, pemenang tender diduga telah diatur, dan sebagainya. Tanpa pengawasan secara cermat, Agus yakin kualitas barang pun pasti jelek.
Selanjutnya, soal kelanjutan pembangunan enam ruas jalan tol. Agus mempertanyakan mengapa Jokowi-Ahok, yang saat menjadi calon gubernur menolak keberadaan proyek itu, tiba-tiba berbalik mendukung dan menyetujuinya. Langkah itu, kata dia, tak sesuai dengan semangat pengurangan jumlah kendaraan pribadi dan memperbanyak transportasi massal di DKI.
"Waktu saya jadi panelis debat calon gubernur, Jokowi-Ahok tegas bilang enggak setuju. Sekarang, dia setuju tiba-tiba. Saya curiga, mereka dideketin sama pihak-pihak pengusul enam ruas jalan tol itu dan mereka berhasil pengaruhi Jokowi," ujar Agus.
"Nanti saya upload rekaman video Jokowi-Ahok yang menolak enam ruas jalan tol itu. Biar semuanya jadi ingat," ucapnya.
Para ahli transportasi, lanjut Agus, sudah sepakat bahwa pembangunan jalan hanya memicu jumlah kendaraan pribadi dan tak menyelesaikan kemacetan. Seharusnya, Pemprov DKI fokus ke pengadaan transportasi massal saja.
Sama halnya dengan pengadaan bus dan enam ruas jalan tol, Agus mengatakan tidak habis pikir dengan langkah Jokowi terkait groundbreaking monorel, Oktober 2013 silam. Sebab, selain sejumlah penelitian, banyak pihak menyebutkan bahwa monorel bukan transportasi publik yang baik, rekam jejak perusahaan pemegang izin pembangunan monorel tersebut diketahui buruk.
"Sudah dibilangin dari awal, jangan diterusin, eh, dia terusin juga. Pertama, monorel itu bukan public transportation. Monorel itu kereta wisata atau kereta dari mal ke mal lain karena rutenya cuma di dalam kota saja. Contohnya sudah banyak di dunia ini yang rugi dan akhirnya tutup," tutur Agus.
"Kedua, track record PT Jakarta Monorail (JM) itu sangat buruk. Coba cek saja siapa itu Edward Soeryadjaya. Astra dulu dibikin bangkrut sama dia. Ternyata dia masih pegang itu monorel, sangat aneh," katanya.
Tidak hanya itu, Agus juga menyayangkan mengapa Jokowi melakukan groundbreaking sebelum adanya penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemprov DKI dan PT JM, serta kepastian soal skema keuangan ketika bisnis itu berjalan nantinya. Agus menilai, langkah itu bentuk keteledoran Jokowi-Basuki.
Begitu juga di Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Agus menilai, Jokowi salah menata pedagang kaki lima di sana. Pada awal penataan, Agus mengaku telah menyarankan agar ada penataan di blok tersebut untuk memudahkan pembeli sampai ke lantai tiga dan empat Blok G.
Secara psikologis, pembeli tak bakal rela naik hingga ke lantai tiga atau empat hanya untuk membeli barang yang mudah dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Terlebih lagi, akses ke lantai itu tidak dipermudah.
"Tidak bakal berhasil kalau polanya seperti sekarang. PKL itu omzet di pinggir jalan Rp 5 juta. Sementara di Blok G, mereka hanya satu dua potong, apalagi masa sewa gratisnya sudah mau habis. Mending mereka jualan di jalan kalau begitu," ujarnya.
Bisa menurunkan kepercayaan publik
Agus tidak menyalahkan Jokowi-Basuki atas kebijakan-kebijakan tersebut. Dia menganggap keduanya adalah orang bersih. Hanya, kata dia, mereka tidak mendapat informasi yang lengkap dan tepat dari orang-orang di sekitarnya sehingga kebijakannya pun tidak tepat sasaran dan rentan menurunkan kepercayaan publik.
"Saya hanya berpesan, orang-orang di lingkarannya jangan bohongi Jokowi-Ahok lagi. Mereka itu orang baik yang benar-benar mau kerja. Mereka perlu dibantu. Nah, pembantunya juga harus benar-benar orang yang mau kerja. Bukan cuma urus proyek lalu dapat duit. Bisa rusak Jakarta kita ini," ucap Agus.
Agus menambahkan, ada kesan Jokowi-Ahok terlalu tergesa-gesa dalam menjalankan sebuah proyek sehingga hasilnya tidak maksimal. Namun, dia yakin belum terlambat bagi pimpinan Jakarta itu untuk memperbaiki langkah kebijakannya ke blue print pembangunan.
Original News : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar