Alasannya, dari bisnis esek-esek itu mereka terlanjur makmur. Tak tanggung-tanggung, puluhan juta rupiah bisa diraup setiap wisma per bulan. Secara keseluruhan, omzet bisnis prostitusi per bulan di lokalisasi Dolly saja bisa mencapai miliaran rupiah. Setiap PSK bisa mengantongi uang antara Rp13 juta dan Rp15 juta per bulan. Sementara sang mucikari bisa mendapat Rp60 juta.
Geliat ekomoni dari gemerlapnya bisnis prostitusi tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh para PSK dan mucikari, namun juga warga di sekitar lokalisasi. Sebut saja pedagang kaki lima (PKL), pengayuh becak, tukang cuci pakaian PSK, hingga warga sekitar yang bekerja sebagai makelar PSK.
Sejak rencana penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak muncul, disertai dengan intensifnya razia oleh petugas keamanan, jumlah pengunjung berkurang.
Lina, seorang mucikari, Selasa (17/6/2014), menolak penutupan kecuali diimbangi dengan kompensasi memadai. Bila kompensasi tersebut tidak dipenuhi, ia meminta Pemkot Surabaya mempertimbangkan kembali penutupan tersebut.
Uang kompensasi yang dimintanya adalah pengganti modal sebesar Rp2 miliar serta pemkot bersedia membeli wismanya seharga Rp3 miliar.
Senada dengan Lina, mucikari lainnya, Johan, mengatakan, penghasilannya per bulan mencapai puluhan juta rupiah. Apabila Pemkot Surabaya bersedia memberi kompensasi dengan jumlah wajar, ditambah uang pengganti wisma Rp3 miliar, dia siap berhenti menjalankan bisnis esek-esek di Dolly.
Saat ini rata-rata setiap wisma berisi 10 sampai 15 PSK. Tarif PSK untuk sekali kencan, mulai dari Rp100 ribu hingga Rp300 ribu. Di Gang Dolly sendiri terdapat 51 wisma. Bila wisma di Dolly dan Jarak digabung maka jumlahnya mencapai 300-an.
Sementara itu, Ali Badri, tokoh masyarakat Surabaya, menuturkan, sudah menjadi kewajiban bagi Pemkot Surabaya untuk menutup lokalisasi yang menjadi biang berbagai hal negatif.
Sebagai warga Kota Surabaya, Ali merasa malu di tempatnya ada tempat prostitusi, apalagi menyandang gelar terbesar di Asia Tenggara. (okezone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar