Seperti dimuat situs Inggris, Guardian baru-baru ini, Walikota Osaka Toru Hashimoto meluncurkan perang besar-besaran terhadap tato. Razia pun dilakukan, hasilnya, lebih dari 100 PNS Pemerintah Osaka wajib menghapusnya, atau jika tidak, harus angkat kaki pindah kerja ke sektor swasta.
Bukan tanpa alasan Pak Walikota bertindak. Mantan pengacara yang memimpin Osaka mulai akhir tahun lalu memerintahkan survei kepemilikan tato pada 30 ribu bawahannya, setelah menerima keluhan dari masyarakat, bahwa seorang petugas bidang kesejahteraan mengintimidasi anak-anak dengan rajahan tinta di badannya.
Survei pun dilakukan, meminta para pegawai untuk secara sukarela melaporkan setiap tato di lengan, kaki, kepala atau bagian lain dari tubuh yang terlihat. Juga melaporkan detil tato tersembunyi di tubuh mereka dan sejak kapan ada di sana.
"Beberapa tempat kerja dapat mentolerir tato, tapi tidak bagi pegawai negeri," kata Hashimoto. "Jika bersikeras memiliki tato, mereka lebih baik meninggalkan pekerjaannya dan pindah ke sektor swasta."
Padahal, di masa lalu, tato bukan halangan bagi siapapun yang berambisi punya jabatan tinggi. Matajiro Koizumi, kakek mantan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi, bisa menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi meski punya tato naga merah besar di punggungnya.
Tak hanya Osaka, tato saat ini adalah persoalan serius di Negeri Sakura.
Tato, terutama yang berukuran besar, dengan motif rumit binatang dalam mitos atau bergambar perempuan penghibur di era shogun, secara tradisional dikaitkan dengan keanggotaan geng yakuza tertentu.
Bahkan, kolam renang dan tempat pemandian umum di Jepang melarang orang bertato masuk, atau setidaknya meminta mereka untuk menutupinya. Sejumlah perusahaan besar, termasuk dua maskapai terbesar Jepang, melarang keras stafnya memiliki tato.
Kesan Yakuza
Dalam buku yang mengupas kelompok ala mafia di Jepang, dan sepak terjang yakuza sampai ke Tanah Air,"Yakuza Indonesia", wartawan Indonesia yang berada di Jepang, Richard Susilo menulis, pemilik tato tak hanya jadi incaran penegak hukum.
Di banyak tempat pun sudah mulai banyak ditempelkan stiker bertuliskan "orang bertato dilarang masuk".
Menurut keterangan yang dikumpulkan Richard, apabila ada orang bertato masuk, kesannya seperti yakuza, sehingga tamu-tamu yang datang akan kabur dan tak mau datang lagi. Namun, masih ada sejumlah tempat, khususnya pemandian umum, yang tak peduli dengan tato.
Citra buruk tato juga berdampak pada warga biasa. Misalnya, seorang perempuan diminta keluar dari sebuah salon kecantikan, gara-gara ada tato di tangannya. Ia dikira anggota yakuza.
Tak hanya warga Jepang, orang asing pun kena akibatnya, salah satunya Tom Stringer (25), pria asal Inggris yang berprofesi sebagai guru bahasa ditolak masuk sebuah pusat kebugaran, gara-gara tato 8 cm di dagunya.
Di kalangan yakuza, tato dianggap sebagai lambang kekuatan atau ciri khas klan. Tato Yakuza biasanya biasanya berbentuk naga, harimau, kupu-kupu, bunga krisan, bunga sakura, gambar terkait Dewa Fudo Myoo, tengkorak, atau setan.
Kini, seiring dengan 'perang' terhadap tato juga pengawasan ketat terhadap yakuza, para petinggi geng meminta anggotanya menghapus rajah mereka. Klinik bedah plastik, khususnya di Osaka, bahkan kebanjiran order untuk menghapus tato.
Di sisi lain, para seniman tato sepi order. "Pelanggan saya dulu banyak sekali anggota Yakuza, kini malah sangat jarang karena sudah diminta para pimpinanya untuk menghapus tato," kata Horiyoshi III, seniman tato teknik tebori, yang mengerjakannya seluruhnya menggunakan tangan, bukan mesin. (Ein)
Sumber: Liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar