Sarah menceritakan lika-liku soal kawin kontrak di kawasan Puncak Jawa Barat. Pernikahan yang seharusnya sakral tak ubahnya seperti prostitusi. Bedanya ada penghulu dan akad nikah, selebihnya tak jauh dari urusan ranjang.
"Ada istilah-istilah tertentu yang biasa kita gunakan. Biasanya yang dipakai kata jawas, istilah untuk kawin kontrak. Jadi kalau ditanya mau jawas, ya berarti ditawarin kawin kontrak," kata Sarah kepada merdeka.com pekan lalu di Puncak.
"Kita biasanya di awal tidak berhubungan sama pelanggan langsung. Ada biyong atau makelar atau mak comblang kawin kontrak yang menghubungkan kita ke pelanggan. Selebihnya ya dari mulut ke mulut aja. Tinggal telepon,' beber wanita cantik ini.
Untuk biaya kawin kontrak, biasanya Sarah mendapat Rp 500 ribu per hari. Biaya ini sudah diluar ongkos untuk mak comblang. Sebulan Sarah bisa mendapat Rp 15 juta. Belum ditambah dengan hadiah atau tips dari suami kontraknya. Gadis ini pun kini sudah mampu membangun rumah sendiri di Puncak.
"Kawin kontrak ada harga kesepakatannya. Tergantung sepakatnya berapa. Mau berapa hari kontraknya. Biyong, dapat 20 persen kalau dia yang mendapatkan suaminya, 80 persen untuk aku. Sehari rata-rata aku Rp 500 ribu," aku Sarah.
Prosesi kawin kontraknya seperti apa?
"Akadnya kontrak ada dua saksi aja. Kontraknya berapa lama, uangnya berapa, terus uangnya dikasih semua di awal. Kalau sudah dikasih di awal aman, kalau terjadi sesuatu di belakang nggak masalah maharnya dah lunas," jelasnya.
Setelah itu Sarah pun menjadi istri kontrak. Seperti istri lain dia punya kewajiban menemani suami, termasuk melayani nafsu suaminya. Setiap berhubungan, Sarah mengaku selalu menggunakan pengaman.
"Harus pakai kondom. Biasanya malah suami sendiri yang nyediain kondom. Karena sama-sama sadar dengan risikonya."
Uang, wanita dan udara dingin Puncak. Tiga hal yang membuat bisnis birahi ini tak pernah mati.
Sumber Berita: Merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar