Selasa, 11 Desember 2012

Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Artikel Kesehatan http://cewekkunakal.blogspot.com/
GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING
dr. Rully Satriawan
RSUD Ahmad Yani, Metro, Lampung

PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran adalah hal yang lazim kita temui saat ini. Salah satunya adalah gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau dalam istilah asing disebut Noise Induce Hearing Lost (NIHL). Dengan semakin bertambah majunya teknologi, maka semakin mudah dan nyaman hidup manusia. Tetapi dibalik itu tersimpan ancaman yang sering tersamar dan tidak kita sadari. GPAB ini merupakan salah satu ancaman kemajuan tersebut.

Bising dan penuaan merupakan dua hal utama penyebab hilangnya pendengaran permanen. Sayangnya kelainan ini tidak dapat dikoreksi baik menggunakan obat-obatan maupun tindakan operatif, tetapi GPAB dapat dicegah (Dobie, 2001).

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising secara Ilmu Kesehatan Masyarakat adalah suara yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang menggangu, atau suara yang diinginkan namun berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan. Bahkan menurut WHO, bising dikategorikan sebagai salah satu jenis polutan (Bunde, 2011). Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan rusaknya reseptor pendengaran pada telinga dalam (Soetirto, 2006). Bising dapat kita temui juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak hanya bising di tempat kerja, tetapi dapat juga bersumber dari alat rumah tangga, alat elektronik, pemutar musik, pusat perbelanjaan sampai tempat bermain anak-anak.
Pada tahun 1900, angka rata-rata harapan hidup di dunia hanya sebesar 47 tahun. Pada saat itu, kehilangan pendengaran karena penuaan bukan suatu masalah yang banyak ditemukan. Bandingkan dengan saat ini, rata-rata usia harapan hidup sudah meningkat tajam (Burkey, 2006). Usia harapan hidup di Jepang adalah yang tertinggi, mencapai usia 80 tahun. Negara maju seperti Australia, Kanada, Swiss dan lainnya memiliki angka rata-rata harapan hidup yang mencapai 79 tahun (Kinsela, 2000). Saat usia rata-rata semakin tua, maka mulai muncullah akumulasi masalah kesehatan. Tidaklah mengherankan jika pada saat ini kejadian kehilangan pendengaran semakin sering terjadi.

Gangguan pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama. Tuli ini merupakan jenis ketulian sensorineural yang paling banyak ditemui setelah presbiakusis. Sejalan dengan berkembangnya gaya hidup masyarakat, kejadian kehilangan pendengaran semakin banyak ditemukan. Selain paparan suara bising, ada banyak faktor lain yang menyebankan gangguan pendengaran seperti hipertensi, diabetes, obat-obatan, dan paparan substansi yang dapat merusak telinga merupakan penyebab dari berkurangnya pendengaran (Burkey, 2006). Lagi-lagi gaya hidup mempengaruhi berkembangnya keadaan-keadaan tersebut.

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih (Soetjipto, 2007). Di indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sundari (1994) yang menemukan 31,55% pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta menderita tuli akibat bising dengan intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun (Soetjipto, 2007). Penelitian lain dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9-108,2 dB (Soetjipto, 2007). Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising ini tidak hanya dilakukan di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (jl. M.H Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk (Soetjipto, 2007).

Fakta bahwa paparan bising yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pendengaran mulai dikenali sejak abad kedelapan belas. Pada awal abad keduapuluh, gangguan pendengaran akibat bising ini dikenal dengan nama Boilermaker’s Deafness (Arts, 1999). Istilah ini muncul mungkin karena pada saat itu ketulian ini ditemukan pada para pekerja pabrik yang bising.

Jika kita tetap menginginkan untuk terus menikmati kualitas hidup sehat, maka menjaga alat indera terutama pendengaran adalah kuncinya. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan apa itu gangguan pendengaran akibat bising, patofisiologi, menegakkan diagnosis dan cara pencegahannya.

PATOFISIOLOGI
Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini bergantung pada beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi pendengaran normal bergantung pada mekanisme mekanik pada telinga tengah dan koklea, mikromekanik dan seluler dari organon corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan bioelektris telinga dalam, dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang bekerja dengan baik (Arts, 1999).

Sebagian besar paparan bising akan menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel ini disebut sebagai kenaikan ambang dengar sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS) (Arts, 1999). Apabila bising tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau waktu paparan yang cukup lama bahkan keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang dengar permanen, Permanent Threshold Shift (PTS) (Arts, 1999). Sedangkan trauma akustik adalah suatu paparan bising dalam tingkat yang berbahaya dimana akan mengakibatkan keadaan PTS tanpa melalui proses TTS dalam satu kali paparan (Arts, 1999).

Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya pertama kali muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini penderita mungkin hanya mengeluh tinitus, suara yang teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan pendengaran yang temporer. Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat bising, atau sesaat setelah meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan berangsur menghilang setelah beberapa jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan pendengaran biasanya tidak disadari sampai ambang pendengaran bunyi nada percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari 25 dB. Awal dan perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian selalu bertipe sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga. Secara otoskopik, membran timpani tampak normal (Fox, 1997).

Dobie, R.A (2001) dalam Head and Neck Surgery-Otolaryngology, menjelaskan bahwa GPAB mengakibatkan kerusakan pada organon corti. Didapatkan kesulitan dalam menemukan kelainan anatomis sehubungan dengan TTS, tetapi diyakini bahwa kelainan ini disebabkan oleh stereocilia dari sel rambut yang berkurang ketegangannya yang mengakibatkan turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan stereocilia ini dapat kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan meningkatnya intensitas dan durasi paparan bising, maka kerusakan akan semakin berat sampai akhirnya terjadi hilangnya stereocilia tersebut. Ketika stereocilia telah hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami kerusakan. Dengan bertambahnya paparan, maka sel rambut dan sel-sel pendukung dalam organon corti akan turut rusak. Selain itu juga dilaporkan adanya degenerasi syaraf pendengaran dan nukleus pendengaran.

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa nada murni dengan frekuensi dan intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah akan merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputusnya dan degenerasi sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat menunjukkan adanya degenerasi, baik sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organon corti (Fox, 1997).

Beberapa teori telah diajukan mengenai mengapa daerah yang melayani frekuensi 4000 Hz lebih rentan terhadap pemaparan bising. Teori yang paling populer adalah bahwa struktur anatomi di daerah tersebut lebih lemah. Kelemahan struktur anatomi tersebut adalah sebagai akibat ketajaman pendengaran dan spektrum dari stimulus suara. Didapatkan bahwa ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu sampai satu setengah oktaf diatas skala frekuensi nada stimulator. Karena ambang pendengaran lebih peka pada nada diantara 1000 dan 3000 Hz, beralasan untuk menduga bahwa bising industri, karena spektrumnya, akan menyebabkan kerusakan paling dini pada frekuensi antara 3000 sampai 4000 Hz (Fox, 1997).

Besarnya gangguan pendengaran yang didapat tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas bising dan durasi paparan tetapi juga karakter dari bising tersebut (spektrum frekuensi dan pola waktu). Paparan terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi yang sempit menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran tersebut terjadi pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara dengan energi terbesar. Alasan dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini paling mungkin adalah dari jarak pergeseran maksimal membran basilar terhadap dasar koklea saat adanya peningkatan intensitas suara (Moller, 2006).

Selain bervariasinya kondisi paparan, ada beberapa hal yang menyebabkan bervariasinya kejadian GPAB pada paparan bising yang sama. Selain oleh paparan bising, GPAB juga dipengaruhi oleh beberapa variabilitas meliputi perbedaan genetis, usia, jenis kelamin, warna kulit, perbedaan jalur konduksi suara (telinga luar dan telinga tengah), suplai darah, dan inervasi koklea.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk otoskopi, dan pemeriksaan penunjang seperti audiometri. Pada anamnesis ditemukan adanya tanda pernah berada di tempat dengan bising tinggi dalam jangka waktu lama atau intensitas tinggi. Bising intensitas tinggi tidak hanya didapat dari tempat bekerja, tetapi dapat juga didapat di lingkungan tempat tinggal sehari-hari, contohnya riwayat penggunaan pemutar musik yang berlebihan, aktifitas ke pusat hiburan yang terlalu sering, berada di lalu lintas padat dalam jangka waktu lama dan lain-lain.

Pada pemeriksaan otoskopi biasanya tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan audiologi didapatkan tanda-tanda tuli sensori neural pada tes penala. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering didapatkan takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini (Soetirto, 2006).

Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity Index), ABLB (Alternate Binaural loudness balance), MLB (monoaural Loudness Balance), audiometri tutur, hasil menunjukkan adanya fenomena rekrutmen yang patognomonik untuk tuli saraf koklea. Rekrutmen adalah suatu fenomena dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah melewati ambang dengarnya (Soetirto, 2006). Sebagai contoh, orang yang pendengarannya normal tidak dapat mendeteksi kenaikan intensitas bunyi sebesar 1 dB bila sedang mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen maka akan dapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut.

PENCEGAHAN GPAB
Untuk mengurangi angka terjadinya GPAB, diperlukan usaha-usaha baik secara promotif preventif dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan kerjasama yang baik dari masyarakat dan pemerintah melalui tenaga kesehatan.

Tindakan pencegahan merupakan hal paling bijak yang dapat kita lakukan dalam menghadapi masalah GPAB ini. Sejalan dengan ini, Departemen Tenaga Kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor: KEP-51/MEN/1999 telah menentukan batas paparan suara bising yang diperkenankan.

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING
Dengan dikeluarkannya peraturan, pemerintah berusaha melindungi masyarakatnya yang bekerja ditempat bising. Perlindungan tersebut diwujudkan dengan pengaturan jam kerja sesuai dengan paparan bising yang didapat oleh pekerja.

Pembatasan pemaparan bising dapat dilakukan dengan mengontrol lingkungan mesin atau perlindungan diri pekerja yang terpapar. Program konservasi pendengaran yang ideal adalah dapat mengurangi atau menghilangkan bising yang berbahaya tepat pada sumbernya (Fox, 1997). Sayangnya kondisi ideal ini sukar dicapai ditinjau dari pengaturan teknis dan ekonomi. Apabila pengontrolan sumber bising tersebut masih tetap mebahayakan, maka dapat diberikan Alat Pelindung Diri (APD) pekerja berupa sumbat telinga (Fox, 1997).

Usaha-usaha diatas merupakan pencegahan terjadinya GPAB di tempat kerja, yang disebut dengan Occupational Hearing Loss. Tetapi ada yang tidak kalah pentingnya yaitu tindakan pencegahan GPAB diluar lingkungan kerja, yang disebut dengan non-Occupational Hearing Loss.

Komnas PGPKT (Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian) telah melakukan penelitian menggunakan sound level meter di 10 kota besar Indonesia pada tempat bermain anak, balita dan remaja. Hasilnya sangat mengejutkan dimana tingkat kebisingan di area tersebut mencapai 90-97,9 dB. Komisi ini juga mengukur pemutar musik portabel, dimana didapatkan angka 80 dB pada volume suara 50-60% (Husni, 2001). Sumber-sumber bising ini rupanya belum mendapat perhatian lebih sehingga belum ada peraturan yang mengikatnya. Padahal sumber bising ini tidak kalah berbahaya dibanding dengan kebisingan di tempat kerja, baik dari segi intensitas bising dan durasi paparan yang sulit terkontrol.

Untuk dapat menghindari terjadinya ketulian akibat bising terutama diluar lingkungan kerja ini perlu kiranya kita mendorong pemerintah melalui dinas terkait untuk membuat peraturan tentang ‘Intensitas Bising’ yang diijinkan di tempat hiburan, arena bermain anak, dan pengontrolan penggunaan alat musik digital dan lain-lain (Husni, 2001).

Selain itu kontrol orang tua terhadap anaknya juga tidak kalah pentingnya. Kontrol ini diperlukan sebagai benteng keluarga, sementara pemerintah membuat peraturan yang melindungi masyarakat dari paparan bising diluar tempat kerja. Orangtua hendaknya memberikan arahan tentang penggunaan alat pemutar musik kepada anaknya, dengan tidak memutar volume melebihi 50%. Proteksi juga dilakukan dengan membatasi waktu kunjungan anak ke pusat perbelanjaan dan arena bermain anak. Karena tempat-tempat tersebut berdasarkan penelitian memiliki intensitas bunyi sebesar 90-97 dB, sehingga kita tidak boleh lebih dari satu jam disana.

DAFTAR PUSTAKA
  • Arts, A. H., 1999. Differential Diagnosis of Sensorineural Hearing Loss. Dalam: Cummings, C. W., Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-3. Mosby-Year Book, St Louis-Toronto.
  • Bunde, Y. E., 2012. Bising Mengepung. http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=36. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.
  • Burkey, J. M., 2006. Baby Boomers and Hearing Loss: A Guide to Prevention and Care. Rutgers University Press, New Brunswick-London.
  • Fox, M. S., 1997. Pemaparan Bising Industri dan Kurang Pendengaran. Dalam: Ballenger, J. J., Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid dua. Alih bahasa: Staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara, Jakarta.
  • Dobie, A. R., 2001. Noice-Induce Hearing Loss. Dalam: Byron, J. B., Healy, G. B., Johnson, J. T., Jackler, R. K., Calhoun, K. H., Pillsbury III, H. C., Tardy Jr, M. E., Head an Neck Surgery – Otolaryngology. Edisi ke-3. Lippincott Milliams & Wilkins, Milwaukee.
  • Husni, T., 2011. Waspadai bising. http://www.ccde.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=458:waspadai-bising&catid=21:sehati&Itemid=28. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja., 1999. Nomor: KEP-51/MEN/1999. Tentang. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
  • Kinsela, K., Suzman, R., Robine, J. M., Myers, G., 2000. Demography of Older Population in Developed Countries. Dalam: Evans, J. G., Williams, T. F., Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Edisi ke-2. Oxford University Press, Boston.
  • Moller, A. R., 2006. Hearing: Anatomy, Phisiology and Disorders of Auditory System. Edisi ke-2. Elsevier, Amsterdam-Tokyo, 219-226
  • Soetirto, I., Bashirudin, J., 2006. Tuli Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke Lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
  • Soetjipto, D., 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising/ GPAB. http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=15. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.
Sumber : http://medicine.uii.ac.id/index.php/Artikel/Gangguan-Pendengaran-Akibat-Bising.html

Download File Gangguan Pendengaran Akibat Bising dalam bentuk PDF disini

Artikel Terkait Kesehatan ,Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar